Mengenang Budaya Lokal melalui Malang Tempo Doeloe



Picture: http://media.halomalang.com

Dewasa ini, Indonesia memang sedang disibukkan oleh penggalakkan aksi pengenalan dan pelestarian kebudayaan nusantara kepada masyarakat lokal sendiri. Hal ini disinyalir dengan adanya Pemerintah melakukan perubahan penetapan atas Permendagri Nomor 60 Tahun 2007 dengan menerbitkan Permendagri Nomor 53 Tahun 2009, yang membahas peraturan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam hal berbusana. Salah satunya mengenai ketetapan penggunaan seragam batik dua kali seminggu pada Hari Kamis dan Jum’at. Dan peraturan tersebut disambut hangat oleh warga Indonesia yang bersedia untuk menjadikan batik sebagai maskot negaranya. Karena hal tersebut mampu mendongkrak khas budaya lokal yang terabaikan dan sempat diklaim oleh negara lain sebagai budaya lokal miliknya. Namun, tak hanya batik saja yang bisa menjadi tren di zaman sekarang, tarian, alat musik tradisional dan bahasa mampu menarik minat warga asing untuk mempelajarinya dengan mendatangi langsung sumber budayanya, dari sinilah maka adanya hubungan timbal balik yang mana mereka dapat mempelajari budaya Indonesia dengan mudah sedangkan Indonesia mampu menunjukkan dan melestarikan ciri khasnya kepada warga asing.


Setiap daerah memiliki cara tersendiri untuk memperkenalkan budayanya. Seperti halnya kota Malang, Yayasan Inggil bekerja sama dengan Pemerintah Kota Malang dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang untuk menyelenggarakan agenda besar tahunan yakni Festival Malang Kembali atau lebih dikenal dengan nama Malang Tempo Doeloe (MTD). Agenda pesta rakyat ini awal mula diadakan pada tahun 2006 dengan mengusung tema yang berbeda-beda setiap tahunnya, seperti: Discovering Heritage, Satoes Akoe 100 Lakoe dan masih banyak lagi. MTD biasanya diselenggarakan selama tiga hari pada bulan Mei di sepanjang Jalan Ijen Boulevard Kota Malang. Masyarakat yang antusias dalam acara tahunan ini turut mendukung dengan berpenampilan ala nuansa zaman dulu, yang identik dengan kebaya, sewek, blangkon, sarung dan sandal jepit. Dwi Cahyono selaku Ketua Yayasan Inggil sekaligus penggagas MTD mengungkapkan alasan diadakannya MTD guna memenuhi kebutuhan dan rasa keingintahuan masyarakat akan budaya kota asalnya. Dan hal ini pun didukung penuh oleh masyarakat yang terbukti dengan jumlah pengunjung rata-rata 500 ribu pengunjung setiap harinya.

Selain itu, MTD terdiri dari sekitar 500 stan yang menyediakan aneka kuliner, pakaian dan souvenir khas zaman dulu. Ada pun panggungpanggung kesenian yang digelar di sela-sela stan. Foto-foto gedung ukuran raksasa pada zaman Belanda dipajang agar masyarakat mengetahui modelgedung yang zaman sekarang sudah sedikit berubah, seperti Gedung Balai Kota, Gereja Ijen, Alun-Alun Kota Malang dan masih banyak yang lainnya. 

Dengan adanya MTD, masyarakat Malang masih bisa menikmati gambaran Kota Malang pada zaman dulu. Selain itu, warga dapat mengenang dan mengerti warisan budaya khas Kota Malang. Namun terkadang kepadatan pengunjung memicu jalanan menjadi kurang teratur, taman jalan menjadi sedikit rusak karena terinjak pengunjung yang saling berdesakan. Karena pengunjung yang berdatangan tidak hanya masyarakat yang berasal dari dalam kota saja, tetapi juga terdiri dari kabupaten bahkan hingga luar kota. Sebab mereka benar-benar tidak ingin melewatkan agenda tahunan yang fenomenal ini. 

Sedangkan isu terbaru mengenai MTD nampaknya menuai banyak kontroversi dikarenakan penyelenggaraan kembali MTD yang sebelumnya pada tahun 2013 silam vakum, dibuka kembali dengan konsep yang nampak berbeda. MTD pada tahun 2014 lalu diselenggarakan hanya dalam jangka waktu satu hari saja, yakni pada tanggal 2 Mei 2014. Selain itu lokasi yang pada awalnya di Jalan Ijen, dipindah di Jalan Basuki Rahmat (Kayutangan) dan Jalan Merdeka (AlunAlun). Alasan Dwi Cahyono yang dilansir Republika mengenai pemindahan tempat ini dikarenakan pada zaman dahulu area Kayutangan dan Alun-Alun merupakan pusat kota dan tempat berkumpulnya orang Belanda. Sedangkan pada kenyataannya, penampilan MTD pada tahun 2014 lalu terlihat lebih sederhana. Suasana semakin ramai pengunjung dikarenakan acara hanya dibuka satu hari. Yang ada hanyalah warga sibuk mengantri untuk berjalan dan jalan raya pun semakin macet. 

Jika dilihat dari kondisinya, MTD tahun 2014 nampak kurang sesuai dengan harapan para pengunjung. Lantaran perubahan MTD tahun ini dengan MTD dua tahun yang lalu begitu sangat mencolok. Pengunjung merasa kesulitan berjalan dan tidak bisa menikmati suguhan stan, panggung pertunjukan dan juga pameranpameran dengan baik. Stan yang terbuat dari bambu dan jerami terlihat begitu tertata rapi dan bersih, jalan untuk pengunjung begitu lebar. Area parkir begitu luas dengan menutup beberapa jalur jalan raya di sekitar Jalan Ijen. Dan nuansa zaman dulu yang ditonjolkan begitu terasa kental. Warga banyak bertestimon bahwa MTD tahun lalu masih jauh lebih baik daripada tahun ini. Dengan adanya pengalaman dari tahun silam semoga bisa menjadi bahan untuk revaluasi di tahun ke depannya.


Komentar

Postingan Populer