Dampak Erupsi Kelud pada Psikis Anak Pasca Erupsi
Picture: http://kabarkampus.com |
Pada tanggal 13 Februari 2014 terjadilah bencana besar yang sempat menggegerkan warga Indonesia dan beberapa warga tetangga lainnya. Bencana ini dirasakan betul bagi warga Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Malang, yakni meletusnya Gunung Kelud yang terletak pada kurang lebih 27 km sebelah timur dari Kota Kediri. Gunung ini termasuk gunung berapi paling aktif di Indonesia yang sudah lebih dari 6 kali meletus yang terletak di Pulau Jawa, Propinsi Jawa Timur. Terjadi letusan terbesar dengan kekuatan 5 Volcanic Explosivity Index (VEI) pada tahun 1919. Dan letusan terakhir terjadi pada tahun 2014.
Selain itu terdapat tiga titik kawasan yang terletak di Kabupaten Malang turut mendapatkan kiriman material dari hasil letusan Gunung Kelud, seperti abu vulkanik, batu, dan pasir, yakni di daerah Ngantang, Kasembon dan Pujon. Namun kondisi Ngantang dan Kasembon lebih parah daripada Pujon, karena jarak antara Ngantang dan Gunung Kelud cukup dekat yakni bekisar 8 km. Warga pun di evakuasi di daerah Pujon dan juga Batu. Namun ketika ditemui di Pujon pada tanggal 23 Februari 2014, warga evakuasi sebagian sudah ada yang kembali ke rumah mereka masing-masing dan ada yang dipindahkan ke tempat evakuasi lainnya di Selorejo. Kondisi rumah warga saat ini sedang dalam proses pemulihan dengan langkah awal membersihkan tumpukan debu dari dalam rumah-rumah dan menurunkan semua genting. Pemerintah pun turut andil dalam proses pemulihan rumah warga dengan tindakan pemberian terpal pada tiap-tiap rumah. Bahkan pemerintah menjanjikan untuk memberi genting beberapa minggu setelah pemberian terpal.
Dampak secara fisik pun dengan cepat segera ditanggulangi, dengan begitu banyaknya relawan yang turun tangan secara langsung untuk membantu pemulihan kondisi rumah. Namun, dampak lain yang terjadi dari beberapa aspek pun masih dirasakan pula oleh korban letusan Gunung Kelud, salah satunya ialah dampak psikis. Terutama yang dialami oleh anak-anak dengan teman sebayanya. Apakah mereka memiliki rasa trauma atau dampak dari gunung meletus tersebut tidak membawa pengaruh terhadap mereka.
Dari hasil polling yang dilakukan oleh tim penelitian Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Kajian Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa (LKP2M) UIN Maliki Malang mengenai keaktifan anak dalam bermain dengan teman sebayanya, terdapat 77.8 % dengan frekuensi 49 orang dari 63 jumlah data yang diambil dari warga eksekusi menyatakan bahwa anak-anak masih senang bermain dengan teman sebayanya, meskipun mereka baru saling mengenal. Hal ini menandakan bahwa anak-anak masih melakukan aktivitas kesehariannya seperti biasa, meskipun mereka sedang berada di dalam tempat evakuasi.
Selain itu, anak-anak cenderung lebih senang berkomunikasi dengan teman sebayanya daripada dengan orang dewasa. Karena dengan bergaul dengan teman sebaya, mereka bisa bercanda, bermain bersama-sama dan sekaligus dapat mengalihkan perhatian mereka dari rasa trauma pasca terjadinya bencana yang menimpa mereka. Hal ini terbukti 46% dari jumlah data yang sama menyatakan bahwa anak-anak disana lebih cenderung berkomunikasi bersama teman sebayanya, dan 38% menyatakan tidak. Karena beberapa dari mereka lebih senang bercanda dan bermain bersama hanya dengan kedua orang tua dan saudara mereka. Ini bukan berarti mereka tidak mau berteman dengan teman sebayanya tetapi mereka malu untuk bermain bersama dengan anak-anak lainnya dan juga mereka merasa lebih nyaman bermain bersama dengan keluarganya.
Selain itu terdapat tiga titik kawasan yang terletak di Kabupaten Malang turut mendapatkan kiriman material dari hasil letusan Gunung Kelud, seperti abu vulkanik, batu, dan pasir, yakni di daerah Ngantang, Kasembon dan Pujon. Namun kondisi Ngantang dan Kasembon lebih parah daripada Pujon, karena jarak antara Ngantang dan Gunung Kelud cukup dekat yakni bekisar 8 km. Warga pun di evakuasi di daerah Pujon dan juga Batu. Namun ketika ditemui di Pujon pada tanggal 23 Februari 2014, warga evakuasi sebagian sudah ada yang kembali ke rumah mereka masing-masing dan ada yang dipindahkan ke tempat evakuasi lainnya di Selorejo. Kondisi rumah warga saat ini sedang dalam proses pemulihan dengan langkah awal membersihkan tumpukan debu dari dalam rumah-rumah dan menurunkan semua genting. Pemerintah pun turut andil dalam proses pemulihan rumah warga dengan tindakan pemberian terpal pada tiap-tiap rumah. Bahkan pemerintah menjanjikan untuk memberi genting beberapa minggu setelah pemberian terpal.
Dampak secara fisik pun dengan cepat segera ditanggulangi, dengan begitu banyaknya relawan yang turun tangan secara langsung untuk membantu pemulihan kondisi rumah. Namun, dampak lain yang terjadi dari beberapa aspek pun masih dirasakan pula oleh korban letusan Gunung Kelud, salah satunya ialah dampak psikis. Terutama yang dialami oleh anak-anak dengan teman sebayanya. Apakah mereka memiliki rasa trauma atau dampak dari gunung meletus tersebut tidak membawa pengaruh terhadap mereka.
Dari hasil polling yang dilakukan oleh tim penelitian Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Kajian Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa (LKP2M) UIN Maliki Malang mengenai keaktifan anak dalam bermain dengan teman sebayanya, terdapat 77.8 % dengan frekuensi 49 orang dari 63 jumlah data yang diambil dari warga eksekusi menyatakan bahwa anak-anak masih senang bermain dengan teman sebayanya, meskipun mereka baru saling mengenal. Hal ini menandakan bahwa anak-anak masih melakukan aktivitas kesehariannya seperti biasa, meskipun mereka sedang berada di dalam tempat evakuasi.
Selain itu, anak-anak cenderung lebih senang berkomunikasi dengan teman sebayanya daripada dengan orang dewasa. Karena dengan bergaul dengan teman sebaya, mereka bisa bercanda, bermain bersama-sama dan sekaligus dapat mengalihkan perhatian mereka dari rasa trauma pasca terjadinya bencana yang menimpa mereka. Hal ini terbukti 46% dari jumlah data yang sama menyatakan bahwa anak-anak disana lebih cenderung berkomunikasi bersama teman sebayanya, dan 38% menyatakan tidak. Karena beberapa dari mereka lebih senang bercanda dan bermain bersama hanya dengan kedua orang tua dan saudara mereka. Ini bukan berarti mereka tidak mau berteman dengan teman sebayanya tetapi mereka malu untuk bermain bersama dengan anak-anak lainnya dan juga mereka merasa lebih nyaman bermain bersama dengan keluarganya.
Komentar
Posting Komentar