Cooperative Learning dalam Pendidikan Multikultural
Picture: http://static1.squarespace.com |
Oleh: Dearga Sukaria[1]
Pendahuluan
Sudah menjadi hal yang sangat lumrah apabila seorang guru
menggunakan berbagai pendekatan, strategi, model atau metode pembelajaran yang
beragam di kelas mereka, agar tujuan dari pada pembelajaran dapat tercapai
dengan baik. Bahkan tak jarang juga seorang guru menggunakan beberapa model
pembelajaran sekaligus dalam satu kali Kegiatan Belajar dan Mengajar (KBM) di
kelas. Adapun salah satu model pembelajaran yang sudah sering digunakan oleh
guru yang mengharapkan adanya kerja sama antar individu siswa dalam pencapaian
tujuan bersama yakni, Cooperative Learning. Apabila diartikan ke dalam
Bahasa Indonesia yaitu model pembelajaran berbasis kerjasama. Kerjasama
masing-masing siswa dalam satu kelompok dengan struktur anggota homogen maupun
heterogen untuk menyelesaikan tugas yang telah diembankan.
Dengan berbagai kelebihan yang dimiliki, Cooperative Learning
mampu menyatukan berbagai hasil pemikiran siswa yang berbeda menjadi sebuah
gagasan yang terpadu. Beberapa guru telah menggunakan Cooperative Learning untuk
mengatasi adanya perbedaan agama, ras, etnik, budaya, bahasa, adat istiadat, gender,
status sosial dan ekonomi pada siswanya. Sedangkan pendidikan yang menaungi
adanya berbagai perbedaan-perbedaan aspek di atas biasa disebut sebagai
Pendidikan Multikultural. Di Indonesia yang terdiri dari 34 provinsi dan lebih
dari 300 suku bangsa, populer dikenal dengan moto atau semboyan Jawa kuno yang
berasal dari Bahasa Sansekerta “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti
“Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Maksudnya, Indonesia terdiri dari berbagai
budaya namun telah terikat oleh satu rasa nasional yaitu Bangsa Indonesia. Sehingga
sudah tidak asing lagi bagi rakyat Indonesia untuk merasakan keberadaan dari
pendidikan multikultural itu sendiri.
Seperti halnya yang dikatakan Suparmi di dalam abstrak jurnalnya,
bahwa sebagai upaya penyatuan atau pengintegrasian pendidikan multikultural ke
mata pelajaran lainnya di dalam kurikulum di Indonesia, maka guru sebagai
penggerak kurikulum mampu mengaplikasikannya melalui Cooperative Learning secara
langsung ke dalam kelas. Sehingga tidak ada benteng yang memisahkan antar siswa
dengan masing-masing keberagaman yang mereka miliki untuk dapat menyatu dengan
siswa lain. (Suparmi: 2012, 108)
Pendidikan Multikultural
Pendidikan
multikultural sebenarnya berawal dan berkembang di negara Amerika Serikat yang
memiliki problem mengenai penindasan atas kultur dominan pada kultur minoritas.
Kultur dominan terdiri dari kelompok WMCA, yakni ras kulit putih (White),
gender laki-laki (Man), agama Kristen (Christian) dan yang terakhir bangsa dari
Eropa Barat (Anglo Saxon). Dan penindasan yang dilakukan oleh kultur dominan
berdampak pada sosial ekonomi, warga minoritas sulit mendapatkan pekerjaan dan
benar-benar ada kebijakan diskriminatif yang jelas (Suparmi: 2012, 110). Selanjutnya
Banks and Banks (2001) melaporkan bahwa pendidikan multikultural lahir di
Amerika serikat sebagai gerakan untuk mendapatkan kesetaraan pendidikan bagi
wanita, kelompok,etnis, kelompok minoritas bahasa non-Inggris, kelompok
berpendapatan rendah dan kelompok berkemampuan khusus (Zamroni, 2011).
Lebih lanjut
Bank (2002:19) di dalam Suparmi mengemukakan untuk mengimplementasikan dimensi
pendidikan multikultural sekolah harus mereformasi delapan kharakteristik
sebagai sekolah multikultur, yaitu:
a.
Guru dan
administrasi sekolah mempunyai harapan tinggi kepada semua siswa. Guru dan staf
harus bersikap dan cara yang positif serta penuh perhatian terhadap siswa.
b. Kurikulum
formal mencerminkan pengalaman, budaya, dan perspektif dari berbagai kelompok
budaya dan etnis serta jender dengan baik.
c. Gaya
mengajar yang digunakan oleh guru cocok dalam pembelajaran budaya, dan dapat
memotivasi siswa
d. Guru
dan staff administrasi menunjukkan rasa hormat pada siswa yang menggunakan bahasa
dan dialek mereka.
e. Bahan
ajar yang digunakan di sekolah menunjukkan peristiwa, situasi, dan konsep dari
perspektif berbagai kelompok budaya, etnis, dan ras.
f. Prosedur
penilaian dan pengujian yang digunakan di sekolah mencerminkan budaya yang
beragam dari siswa yang cerdas dan berbakat.
g. Budaya
sekolah dan kurikulum tersembunyi mencerminkan keragaman budaya dan etnis
h.
Para konselor
sekolah memiliki harapan tinggi untuk siswa dari kelompok yang berbeda ras,
etnis, dan bahasa dan membantu para siswa untuk mengatur dan menyadari tujuan
karir yang positif.
Cooperative Learning
Cooperative Learning adalah
rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok
tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Adapun empat
unsur penting yang terdapat dalam Cooperative Learning yakni (1) adanya
peserta dalam kelompok, (2) adanya aturan kelompok, (3) adanya upaya belajar
setiap anggota kelompok, dan (4) adanya tujuan yang harus dicapai (Sanjaya:
2013, 241). Sedangkan karakteristik Cooperative Learning: (1)
pembelajaran secara tim, (2) didasarkan pada manajemen kooperatif, (3) kemauan untuk
bekerja sama, (4) keterampilan bekerja sama (Sanjaya: 2013, 244-246). Prosedur Cooperative
Learning: (1) penjelasan materi, (2) belajar dalam kelompok, (3) penilaian,
(4) pengakuan tim. (Sanjaya: 2013, 248-249).
Di dalam karakteristik dan prosedur implementasi dari Cooperative
Learning sesuai dengan beberapa poin karakteristik sebagai sekolah
multikultur maka dapat dipastikan dapat menunjang atau meningkatkan nilai dari
multikultur ke dalam sekolah yang telah diterapi sistem pendidikan multikultural.
Dengan adanya guru yang menanamkan nilai-nilai kerjasama, nilai-nilai toleransi
dan juga pemantapan materi mengenai keberagaman budaya di Indonesia mampu mengubah
termasuk sebagai tindakan penunjang penenaman nilai-nilai di dalam proses
pendidikan multikultural.
Kesimpulan
Dengan berbagai penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
(1) sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia memiliki keberagaman
budaya namun tetap dalam kesatuan, (2) dengan adanya pendidikan multikultural,
pemerintah dapat memanfaatkannya sebagai alat untuk menyebarkan dan
melestarikan budaya lokal kepada generasi penerus agar mereka dapat mengenal
dan memperkenalkannya ke luar negeri, (3) sehingga pendidikan multicultural
mampu berintegrasi dengan mata pelajaran yang lainnya di di dalam kurikulum,
(4) Cooperative Learning termasuk menjadi salah satu cara guru untuk
menanamkan budaya Indonesia dan tetap menjaga keberagaman budaya tersebut untuk
selalu hidup berdampingan dan menghilangkan adanya diskriminasi, dengan
penanaman pendidikan multikultural terhadap pendidik-pendidik di Indonesia.
[1] Mahasiswi
semester VII Jurusan Pendidikan Agama Islam, International Class Program,
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, NIM. 12110140.
Komentar
Posting Komentar